Friday, April 17, 2009

Menjadi pembimbing, pantas atau tidak??

bulan-bulan sekarang ini di institusi akademi khususnya kebidanan pasti sedang disibukkan dengan persiapan Ujian Akhir Program (UAP) dan Ujian Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang keduanya merupakan bagian dari syarat mutlak untuk bisa mendapat gelar Ahli Madya Kebidanan (Amd.Keb) nantinya.saya tertarik sekaligus merasa dilema dengan keadaaan sebagian besar institusi kebidanan [yang saya ketahui], yang melaksanakan UAP dan KTI yang dimata saya kurang memperhatikan proses safeguard the standard of quality.
Institusi Kebidanan dalam hal ini Penyelenggara Pendidikan Kebidanan merupakan produsen dari terbentuknya produk-produk yang diharapkan berkualitas. Produk disini tidak lain tidak bukan adalah bidan itu sendiri. Dalam UAP atau KTI tentunya membutuhkan pembimbing dan penguji yang harusnya memiliki kompetensi di bidang kebidanan. Kompetensi tersebut bisa dilihat dari tingkat pendidikan atau pengalaman kerja. tentunya dengan kriteria pendidikan yang minimal 1 tingkat diatas produk yang akan dihasilkan. jika institusi tersebut akan menghasilkan Ahli Madya Kebidanan maka minimal pembimbing dan penguji harus S1, boleh sarjana2 kesehatan yang lain atau lebih baik lagi sarjana kebidanan. sedangkan untuk institusi yang masih "hijau" yang baru pertama kali menyelenggarakan UAP dan KTI harus mengundang penguji nasional yang sudah mempunyai SK atau sejenis sertifikat sebagai penguji nasional. Bisa dari lahan praktik, Dinas yang terkait atau dari institusi lain yang sudah "mapan". Sayangnya terkadang hal ini menjadi hal yang ditakutkan oleh penyelenggara pendidikan itu sendiri. karena dengan begitu kemungkinan besar penguji2 tamu tersebut akan melakukan penilaian seobjektif mungkin sesuai dengan standard of quality tadi. Mereka akan menilai dengan secermat-cermatnya dan sejeli-jelinya. Hal ini_oleh para penyelenggara pendidikan dipandang akan merugikan mahasiswa dan tentunya "ranking" bagi institusinya tersebut. karena dengan kondisi ujian yang seperti itu, besar kemungkinan akan ada banyak mahasiswa yang terhambat lulus [kecuali persiapan dan pemantapan materi terhadap mahasiswa telah dilakukan dengan baik dan benar]. Hal itu sudah pasti akan mempengaruhi nilai akreditasi bagi institusi itu sendiri. Maka dari itu, penyelenggara pendidikan seringkali membuat kebijakan untuk tetap memanfaatkan tenaga dari dalam institusi dan koleganya untuk mennjadi penguji, meskipun terkesan "jeruk makan keruk" asalkan telah menempuh pengalaman kerja minimal 2 tahun [yang ternyata juga sering dikamuflase]. Sungguh disayangkan sebenarnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan. Apakah hal itu menguntungkan atau merugikan peserta didik?Peserta didik tentunya bisa saja lulus dengan mudah dengan penilaian yang subjektif dari penguji. Tapi apakah mereka lulus dengan kualitas yang baik? Itu yang seharusnya menjadi fokus kita. Mendirikan institusi pendidikan bukan hanya berlatar belakang karena motif ekonomi dan bisnis serta mengejar kuantitas. Lebih dari itu, mendirikan institusi pendidikan merupakan bagian dari tanggung jawab kita untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan berkompeten di bidangnya masing-masing. Yang nantinya akan menjadi sumber daya yang berguna bagi agamanya, masyarakat, bangsa dan negara. Karena itu, alangkah lebih baiknya jika kita bisa berbenah memperbaiki sistim yang agak menyimpang dan membuka diri untuk berani mengatakan "ya, saya akan perbaiki."

No comments:

Post a Comment